Suatu
ketika seseorang berada disamping Rasulullah saw, lalu seorang sahabat
lewat dihadapannya, lalu orang yang berada disamping Rasulullah itu
tiba-tiba berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai dia”,
“Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” tanya Nabi. “Belum”
jawab orang itu. “Nah…sekarang beritahukanlah kepadanya” timpal Nabi.
Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya: “sesungguhnya aku
mencintaimu karena Allah…” dengan serta merta sahabat itu menjawab:
“Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya…”. (HR.
Abu Dawud).
Subhanallah…!
sungguh indah ukhuwah yang telah Rasulullah ajarkan kepada para
sahabatnya. Ungkapan cinta secara verbal dalam kehidupan nyata itu lahir
dari pribadi-pribadi yang ikhlas. Barangkali dalam pandangan kita hari
ini, ungkapan-ungkapan seperti itu terkesan klise atau bahkan terlalu
formalistik. Tapi tidak buat generasi terbaik saat itu. Sikap lahiriah
yang mereka tampilkan adalah cermin dari kepribadian tulus yang tidak
dipoles basa-basi.
Kita
tentu masih ingat dengan kisah mengharu biru antara Sa’id bin Rabi’ al
Anshary dengan Abdurrahman bin ‘Auf ketika mereka dipersaudarakan oleh
Rasulullah setelah peristiwa hijrah. Sa’ad dengan segenap ketulusan
memberikan kepada sahabat yang dicintainya hanya karena Allah itu
sebidang kebun dan seorang istri yang tentu sangat dibutuhkan oleh
Abdurahman bin ‘Auf saat itu untuk memulai kehidupan barunya di Madinah.
Namun sikap Abdurrahman saat itu tak kalah bijaksana. Dia menolak
tawaran tersebut secara halus, dan hanya minta ditunjukkan padanya
sebuah pasar agar ia mulai bisa mandiri memulai hidup barunya.
Sangat
kontras barangkali dengan kondisi kita hari ini. Kita terkadang alpa
memberikan hak orang lain yang seharusnya kita berikan, namun diwaktu
yang sama kita sering menuntut hak kita lebih banyak. Padahal kehidupan
yang sakinah selalu dibangun atas dasar keseimbangan; saling memberi dan
saling menerima. Sebab sikap takâful tidak bisa lahir begitu saja tanpa
melalui proses ta’âruf (saling mengenal), tafâhum (saling memahami),
dan ta’âwun (saling bekerjasama).
Rasanya
mustahil kita akan bisa mencintai sahabat atau saudara seakidah jika
kita tidak pernah mengenalnya. Lalu apakah mengenal disini adalah syarat
mutlak untuk mencintai saudara seiman? Jawabannya adalah tidak. Tapi
standar yang jadi ukuran kita adalah, cinta kita hanya karena Allah.
Artinya, kita dituntut mencintai sahabat dan saudara kita dalam ketaatan
kepada Allah. Tatkala kita melihat seseorang yang memiliki kesalehan
dan ketaatan maka kita mencintainya karena ketaatannya, sebaliknya jika
kita lihat seseorang telah menyimpang, makak kita dianjurkan hanya
membenci perbuatannya bukan dirinya. Sekaligus dalam waktu yang sama
kita harus selalu mendekatinya untuk diajak kembali kepada Allah. Inilah
makna dari kisah dalam penggalan hadits diatas. Bukankah antara kedua
sahabat Rasulullah itu juga belum saling kenal? Tapi masing-masing
merasakan bahwa ada satu titik temu yang mempertautkan hati mereka,
yaitu keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ingat…hati dan jiwa seperti
inilah yang telah dijamin oleh Allah untuk dipersatukan dengan
rahmat-Nya. Bagaimanapun usaha manusia untuk menyatukan hati dan jiwa,
bahkan dengan mengumpulkan segala potensi yang dimiliki langit dan bumi
sekalipun, niscaya hanya hati dan jiwa yang disatukan oleh Allah lah
yang terus bisa langgeng dan bertahan.
Selama
ini kita sering salah persepsi tentang arti kata ‘kenal’. Kita sudah
merasa cukup dikatakan ‘gaul’ dan banyak teman ketika kita dikenal oleh
orang banyak, atau kita selalu merasa cukup mengenal seseorang dari
nama, asal daerah dan beberapa kesukaannya. Padahal proses perkenalan
itu sebenarnya sepanjang masa. Setiap kita dituntut untuk selalu
memperdalam ta’âruf sesama kita dalam setiap kesempatan, apalagi jika
frekuensi pertemuan kita dengan saudara kita tidak terlalu sering.
Semakin dalam perkenalan tersebut akan melahirkan sikap tafâhum dan bisa
terhidar dari perasaan negatif atau sangkaan yang tidak mendasar.
Saling
memahami pada dasarnya adalah, bahasa lain dari sikap bisa menerima
orang lain apa adanya dengan segala kelemahan dan kelebihan yang
dimilikinya. Seringkali kita ingin dipahami, tapi sangat sulit bagi kita
untuk sekedar berempati memahami orang lain. Kenapa hal itu bisa
terjadi? Salah satu sebabnya barangkali adalah sifat ego yang belum
mammpu kita tundukkan. Disamping itu, kita tidak siap untuk berbeda dan
terbiasa mengukur orang lain dengan diri kita. Akibatnya akan sulit
terwujud sikap saling memahami, padahal Allah telah menciptakan
perbedaan itu secara alami.
Kehidupan
para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah teladan utama dalam membina
kesepahaman dalam kemajemukan. Masing-masing mereka mewakili karakter
yang sangat berbeda. Tapi perbedaan itu bukan perbedaan tanâqud
(kontradiktif), tapi lebih bersifat tanawu’ (variatif). Antara Abu Bakar
dan Umar bin Khattab jelas menggambarkan dua watak yang sangat berbeda,
tapi mereka telah memberikan contoh terbaik dalam menerapkan sikap
tafâhum. Sebagai bukti, estafet dakwah yang telah digariskan oleh
Rasulullah saw mampu mereka emban dan teruskan untuk kejayaan Islam dan
kaum muslimin.
Kekokohan
sebuah ukhuwah adalah prasyarat utama meraih prestasi dan membangun
peradaban besar. Obsesi sebesar apapun akan mudah dicapai jika
dikerjakan secara kolektif (amal jama’i). Sebaliknya jika nilai-nilai
ini sudah melemah, maka kehancuran sudah dihadapan mata. Sebagai umat
yang pernah memimpin peradaban dunia selama lebih dari delapan abad
walaupun akhirnya runtuh, ternyata ditemukan dari beberapa catatan
sejarah bahwa salah satu faktor utama keruntuhan tersebut disebabkan
oleh melemahnya nilai-niali ukhuwah dan persaudaraan. Silang pendapat
tak jarang berakhir dengan perang saudara. Saling percaya mulai memudar
sehingga mudah disusupi oleh musuh-musuh Islam yang memang sudah sejak
lama mencari kesempatan untuk turut andil menumbangkan kedigdayaan Islam
ketika itu.
Jika
sikap tafâhum telah terbina dengan baik, akan mudah menjalin kerjasama
dan saling membantu. Pekerjaan berat akan terasa ringan jika dikerjakan
bersama. Berbagai kekurangan akan mudah ditutupi. Disamping itu rasa
solidaritas akan mudah diwujudkan. Itulah filosofi ta’awun yang sudah
mulai luntur dalam kultur muslim hari ini. Padahal Rasulullah telah
menganalogikan hubungan antar sesama muslim dalam berbagai dimensi
kehidupan ini ibarat satu tubuh yang tak mungkin terpisahkan. Jika salah
satu anggota tubuh sakit atau terluka, maka anggota tubuh lain turut
merasakannya. Bahkan Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadits shahîh
bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna jika ia tidak mampu
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. Seluruh konsep
Islam tentang ukhuwah bukan saja sekedar teori, tapi telah dibuktikan
oleh sejarah. Para pelaku sejarah itu adalah orang-orang pilihan yang
telah ter-sibghah (tersentuh) oleh tarbiyah Islamiyah dari generasi ke
generasi.
Dr.
Abdullâh Darrâz dalam bukunya zâdul muslim lil dîn wal hayât
mengkalsifikasi manusia dalam interaksi sehari-hari kepada tiga
kelompok, diantaranya :
Pertama,
Orang yang selalu ingin mengambil haknya dari orang lain atau bahkan
boleh jadi tidak berkaitan dengan haknya. Dalam waktu yang sama dia
tidak mau memberikan kewajibannya atau hak orang lain yang wajib ia
tunaikan. Sifat ini termasuk dalam kategori dzhâlim. Orang seperti ini
tidak memiliki kepedulian sosial dan kepekaan serta cendrung sibuk
dengan dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa kehidupan ini dibangun atas
dasar takâful satu sama lain. Semoga kita tidak termasuk kedalam
golongan ini.
Kedua,
Orang yang selalu berfikir ‘fifty-fifty’. Atau dalam bahasa lain adalah
mu’amalah bil mukâfi’. Artinya, saya akan memberi jika ia memberi. Atau
saya akan memberi dan membalas perbuatannya sesuai dengan ukuran yang
ia berikan kepada saya. Mereka menjadikan pola interaksi sosial seperti
layaknya jual beli. Karena hanya konsep jual beli yang memakai filosofi
mubâdalah. Padahal interaksi sosial dan ukhuwah bukanlah jual beli,
lebih dari itu ukhuwah adalah ‘ruh’ kehidupan ini. Saling memberi dan
saling menerima sering disalah pahami oleh sebagian kita hanya; jika dia
memberi maka saya akan membalas, tapi jika dia tidak memberi maka
tunggu dulu.
Karakter
hedonis dan egois sudah semakin menggerogoti manusia-manusia modern.
Nilai-nilai persaudaraan bahkan diukur dengan kepentingan dan materi.
Mereka yang berkiblat dengan paham ini akan selalu berprinsip; tidak ada
teman setia dan tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan.
Dibanding
kelompok pertama, maka golongan kedua ini masih mending walaupun belum
ideal. Minimal dia tidak berbuat zalim dan merugikan orang lain. Dalam
fikirannya selalu ada kalkulasi untung dan rugi.
Ketiga,
Orang yang memiliki sifat Itsâr. Itsâr dalam makna sesungguhnya telah
Allah sebutkan dalam al Quran: “Dan orang-orang yang telah menempati
kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al
Hasyr : 9)
Sifat
ini sudah jadi barang langka, bahkan orang yang masih mengamalkan sikap
ini dicap sebagai orang yang tidak rasional. Sungguh Islam ini akan
kembali bangkit jika setiap jiwa kita mampu memaknai dan
mengaktualisasikan kembali nilai ini. Memang tidak semudah
mengucapkannya. Untuk mengamalkannya diperlukan persiapan ruhy yang
optimal. Mendapatkan kondisi ruhy seperti ini, tidak semudah membalikkan
telapak tangan, tapi ia butuh proses dan waktu.
Bagaiamana
prosesnya? Perkuat hubungan dengan Allah dan interaksi sosial sesama
makhluk, dan sadari bahwa kehidupan didunia adalah Dârul ‘amal,
sedangkan kebahagiaan sempurna hanya ada di akhirat. Jika hal ini mampu
kita lakukan, maka kita akan semakin bisa bermu’amalah dengan saudara
kita dengan ‘ahsanul mu’amalah’. Hati kita akan selalu mudah peka dan
lembut sebab kita sadar hanya Allah tujuan kita.
Sahabat….keindahan
mentari pagi dengan cahayanya yang menembus disela-sela pepohonan dan
dedaunan adalah kekuatan yang memberikan kehidupan bagi makhluk. Begitu
juga dengan ukhuwah, ia ibarat sinar mentari yang membangkitkan
kehidupan, mata air yang memberikan kesejukan dan pelepas dahaga,
rembulan di malam hari yang menerangi perjalanan seorang musafir. Semua
kita adalah musafir dalam hidup ini. Mahathah akhir kita adalah ridho
Allah, dan saat ini kita masih dalam perjalanan menuju-Nya.
Sahabat…sungguh
ingin kuucapkan betapa aku mencintaimu karena Allah. Kita tidak sedang
bermain dengan kata-kata. Kita tidak sedang berbasa basi. Bukankah Allah
telah menjanjikan buat kita diakhirat kelak melalui lisan Rasul-Nya?
Bahwa diantara tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan Allah pada
hari akhirat adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah?
bertemu karena Allah dan berpisah karena-Nya juga? Masihkah kita ragu
dengan janji-Nya?
Sahabat…bukalah
pintu hatimu! Aku ingin berbagi cerita denganmu. Betapa disetiap sudut
sajadah doaku teruntai sebait doa untukmu…semoga Allah selalu menyatukan
hati dan jiwa kita untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya serta seluruh
orang mukmin. Disetiap asa dan harapku semoga kita bisa mengemban amanah
risalah dan dakwah ini dalam satu shaf yang rapi.
Sahabat…hari
esok akan menjelang, dan perjalanan kita masih terlalu panjang.
Genggamlah erat tanganku ini dan mari kita berjanji, bahwa kita akan
meneruskan perjuangan ini…apapun yang terjadi! Tersenyumlah…karena Allah
akan meridhoi kita sahabat…!
@Fe_Fine