Jumat, 31 Juli 2015

kaka Rara


sebiru hari ini
birunya bagai langit terang benderang
sebiru hari kita bersama disini

seindah hari ini
indahnya bak permadani taman surga
seindah hati kita walau kita kan berpisah

bukankah hati kita telah lama menyatu
dalam tali kisah persahabatan ilahi
pegang erat tangan kita terakhir kalinya
hapus air mata meski kita kan berpisah

selamat jalan teman
tetaplah berjuang
semoga kita bertemu kembali
kenang masa indah kita sebiru hari ini

Senin, 05 Januari 2015

Next..

Dimana ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Dimana ada awal, pasti akan ada akhir. That's life. Ketika akhir sebuah perjalanan akan menjadi pertemuan dengan sesuatu yang baru. And that's more about life. Di dalam hidup, banyak orang yang datang dan pergi, Allah telah menjumpakan kita dengan orang-orang yang telah Dia gariskan dalam catatan takdirnya. Mereka datang silih berganti. Ada yang melintas dalam segmen singkat, namun membekas di hati. Ada yang telah lama berjalan beriringan tetapi tidak disadari kehadirannya. Ada yang begitu jauh di mata sedangkan penampakannya melekat di hati. Ada yang datang dan pergi begitu saja seolah-olah ada atau tidak adanya sama sekali tak berarti buat kita.
Semua orang yang pernah singgah dalam hidup kita bagaikan kepingan puzzle yang saling melengkapi dan membentuk sebuah gambaran kehidupan. Maka sudah fitrah bila ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dimana ada awal pasti ada akhir. Sebuah perjalanan akan menjadi awal perjalanan lainnya. Sebuah perpisahan ia akan menjadi awal pertemuan dengan sesuatu yang baru. Well, that's life must be. Ketika akhir sebuah perjalanan akan menjadi awal perjalanan yang lain dan sebuah perpisahan akan menjadi pertemuan dengan sesuatu yang baru. And that's more about life. 
Ketika kita tidak bisa berjumpa lagi di dunia, semoga Allah mengumpulkan kita di jannah-Nya. Semoga kita teringat akan sabda Nabi SAW yang menerangkan mengenai tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari-Nya. Diantara golongan tersebut adalah "Dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah sebab cinta karena Allah." (HR. Bukhari no.666 dan Muslim No.1031).
Orang yang mencintai akan dikumpulkan bersama yang dicintainya di akhirat kelak. Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi SAW "kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?" Beliau Rasulullah SAW menjawab "apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?" Orang tersebut menjawab "Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allag dan Rasul-Nya." Beliau Rasulullah SAW-pun berkata "Kalau begitu engkau akan bersama dengan orang-orang yang engkau cintai (HR. Bukhari no.6171 dan Muslim no.2639). 
Yang aku harap, semoga persaudaraan kita tidak hanya di dunia, namun berakhir pula di Jannah. Di dunia -selama hidup- semoga kita saling menghendaki kebaikan satu dan lainnya. Amin... 
Uhhibuki fillah ya ukhti..
 

Spesial For Fatima Aulia Azzahra dan ka  Rusfa

SAHABAT, AKU MENCINTAIMU KRN ALLAH

Suatu ketika seseorang berada disamping Rasulullah saw, lalu seorang sahabat lewat dihadapannya, lalu orang yang berada disamping Rasulullah itu tiba-tiba berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai dia”, “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” tanya Nabi. “Belum” jawab orang itu. “Nah…sekarang beritahukanlah kepadanya” timpal Nabi. Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya: “sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah…” dengan serta merta sahabat itu menjawab: “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya…”. (HR. Abu Dawud).

Subhanallah…! sungguh indah ukhuwah yang telah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya. Ungkapan cinta secara verbal dalam kehidupan nyata itu lahir dari pribadi-pribadi yang ikhlas. Barangkali dalam pandangan kita hari ini, ungkapan-ungkapan seperti itu terkesan klise atau bahkan terlalu formalistik. Tapi tidak buat generasi terbaik saat itu. Sikap lahiriah yang mereka tampilkan adalah cermin dari kepribadian tulus yang tidak dipoles basa-basi.

Kita tentu masih ingat dengan kisah mengharu biru antara Sa’id bin Rabi’ al Anshary dengan Abdurrahman bin ‘Auf ketika mereka dipersaudarakan oleh Rasulullah setelah peristiwa hijrah. Sa’ad dengan segenap ketulusan memberikan kepada sahabat yang dicintainya hanya karena Allah itu sebidang kebun dan seorang istri yang tentu sangat dibutuhkan oleh Abdurahman bin ‘Auf saat itu untuk memulai kehidupan barunya di Madinah. Namun sikap Abdurrahman saat itu tak kalah bijaksana. Dia menolak tawaran tersebut secara halus, dan hanya minta ditunjukkan padanya sebuah pasar agar ia mulai bisa mandiri memulai hidup barunya.

Sangat kontras barangkali dengan kondisi kita hari ini. Kita terkadang alpa memberikan hak orang lain yang seharusnya kita berikan, namun diwaktu yang sama kita sering menuntut hak kita lebih banyak. Padahal kehidupan yang sakinah selalu dibangun atas dasar keseimbangan; saling memberi dan saling menerima. Sebab sikap takâful tidak bisa lahir begitu saja tanpa melalui proses ta’âruf (saling mengenal), tafâhum (saling memahami), dan ta’âwun (saling bekerjasama).

Rasanya mustahil kita akan bisa mencintai sahabat atau saudara seakidah jika kita tidak pernah mengenalnya. Lalu apakah mengenal disini adalah syarat mutlak untuk mencintai saudara seiman? Jawabannya adalah tidak. Tapi standar yang jadi ukuran kita adalah, cinta kita hanya karena Allah. Artinya, kita dituntut mencintai sahabat dan saudara kita dalam ketaatan kepada Allah. Tatkala kita melihat seseorang yang memiliki kesalehan dan ketaatan maka kita mencintainya karena ketaatannya, sebaliknya jika kita lihat seseorang telah menyimpang, makak kita dianjurkan hanya membenci perbuatannya bukan dirinya. Sekaligus dalam waktu yang sama kita harus selalu mendekatinya untuk diajak kembali kepada Allah. Inilah makna dari kisah dalam penggalan hadits diatas. Bukankah antara kedua sahabat Rasulullah itu juga belum saling kenal? Tapi masing-masing merasakan bahwa ada satu titik temu yang mempertautkan hati mereka, yaitu keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ingat…hati dan jiwa seperti inilah yang telah dijamin oleh Allah untuk dipersatukan dengan rahmat-Nya. Bagaimanapun usaha manusia untuk menyatukan hati dan jiwa, bahkan dengan mengumpulkan segala potensi yang dimiliki langit dan bumi sekalipun, niscaya hanya hati dan jiwa yang disatukan oleh Allah lah yang terus bisa langgeng dan bertahan.

Selama ini kita sering salah persepsi tentang arti kata ‘kenal’. Kita sudah merasa cukup dikatakan ‘gaul’ dan banyak teman ketika kita dikenal oleh orang banyak, atau kita selalu merasa cukup mengenal seseorang dari nama, asal daerah dan beberapa kesukaannya. Padahal proses perkenalan itu sebenarnya sepanjang masa. Setiap kita dituntut untuk selalu memperdalam ta’âruf sesama kita dalam setiap kesempatan, apalagi jika frekuensi pertemuan kita dengan saudara kita tidak terlalu sering. Semakin dalam perkenalan tersebut akan melahirkan sikap tafâhum dan bisa terhidar dari perasaan negatif atau sangkaan yang tidak mendasar.

Saling memahami pada dasarnya adalah, bahasa lain dari sikap bisa menerima orang lain apa adanya dengan segala kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya. Seringkali kita ingin dipahami, tapi sangat sulit bagi kita untuk sekedar berempati memahami orang lain. Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu sebabnya barangkali adalah sifat ego yang belum mammpu kita tundukkan. Disamping itu, kita tidak siap untuk berbeda dan terbiasa mengukur orang lain dengan diri kita. Akibatnya akan sulit terwujud sikap saling memahami, padahal Allah telah menciptakan perbedaan itu secara alami.

Kehidupan para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah teladan utama dalam membina kesepahaman dalam kemajemukan. Masing-masing mereka mewakili karakter yang sangat berbeda. Tapi perbedaan itu bukan perbedaan tanâqud (kontradiktif), tapi lebih bersifat tanawu’ (variatif). Antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab jelas menggambarkan dua watak yang sangat berbeda, tapi mereka telah memberikan contoh terbaik dalam menerapkan sikap tafâhum. Sebagai bukti, estafet dakwah yang telah digariskan oleh Rasulullah saw mampu mereka emban dan teruskan untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Kekokohan sebuah ukhuwah adalah prasyarat utama meraih prestasi dan membangun peradaban besar. Obsesi sebesar apapun akan mudah dicapai jika dikerjakan secara kolektif (amal jama’i). Sebaliknya jika nilai-nilai ini sudah melemah, maka kehancuran sudah dihadapan mata. Sebagai umat yang pernah memimpin peradaban dunia selama lebih dari delapan abad walaupun akhirnya runtuh, ternyata ditemukan dari beberapa catatan sejarah bahwa salah satu faktor utama keruntuhan tersebut disebabkan oleh melemahnya nilai-niali ukhuwah dan persaudaraan. Silang pendapat tak jarang berakhir dengan perang saudara. Saling percaya mulai memudar sehingga mudah disusupi oleh musuh-musuh Islam yang memang sudah sejak lama mencari kesempatan untuk turut andil menumbangkan kedigdayaan Islam ketika itu.

Jika sikap tafâhum telah terbina dengan baik, akan mudah menjalin kerjasama dan saling membantu. Pekerjaan berat akan terasa ringan jika dikerjakan bersama. Berbagai kekurangan akan mudah ditutupi. Disamping itu rasa solidaritas akan mudah diwujudkan. Itulah filosofi ta’awun yang sudah mulai luntur dalam kultur muslim hari ini. Padahal Rasulullah telah menganalogikan hubungan antar sesama muslim dalam berbagai dimensi kehidupan ini ibarat satu tubuh yang tak mungkin terpisahkan. Jika salah satu anggota tubuh sakit atau terluka, maka anggota tubuh lain turut merasakannya. Bahkan Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadits shahîh bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna jika ia tidak mampu mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. Seluruh konsep Islam tentang ukhuwah bukan saja sekedar teori, tapi telah dibuktikan oleh sejarah. Para pelaku sejarah itu adalah orang-orang pilihan yang telah ter-sibghah (tersentuh) oleh tarbiyah Islamiyah dari generasi ke generasi. 

Dr. Abdullâh Darrâz dalam bukunya zâdul muslim lil dîn wal hayât mengkalsifikasi manusia dalam interaksi sehari-hari kepada tiga kelompok, diantaranya :

Pertama, Orang yang selalu ingin mengambil haknya dari orang lain atau bahkan boleh jadi tidak berkaitan dengan haknya. Dalam waktu yang sama dia tidak mau memberikan kewajibannya atau hak orang lain yang wajib ia tunaikan. Sifat ini termasuk dalam kategori dzhâlim. Orang seperti ini tidak memiliki kepedulian sosial dan kepekaan serta cendrung sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa kehidupan ini dibangun atas dasar takâful satu sama lain. Semoga kita tidak termasuk kedalam golongan ini.

Kedua, Orang yang selalu berfikir ‘fifty-fifty’. Atau dalam bahasa lain adalah mu’amalah bil mukâfi’. Artinya, saya akan memberi jika ia memberi. Atau saya akan memberi dan membalas perbuatannya sesuai dengan ukuran yang ia berikan kepada saya. Mereka menjadikan pola interaksi sosial seperti layaknya jual beli. Karena hanya konsep jual beli yang memakai filosofi mubâdalah. Padahal interaksi sosial dan ukhuwah bukanlah jual beli, lebih dari itu ukhuwah adalah ‘ruh’ kehidupan ini. Saling memberi dan saling menerima sering disalah pahami oleh sebagian kita hanya; jika dia memberi maka saya akan membalas, tapi jika dia tidak memberi maka tunggu dulu.

Karakter hedonis dan egois sudah semakin menggerogoti manusia-manusia modern. Nilai-nilai persaudaraan bahkan diukur dengan kepentingan dan materi. Mereka yang berkiblat dengan paham ini akan selalu berprinsip; tidak ada teman setia dan tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Dibanding kelompok pertama, maka golongan kedua ini masih mending walaupun belum ideal. Minimal dia tidak berbuat zalim dan merugikan orang lain. Dalam fikirannya selalu ada kalkulasi untung dan rugi.

Ketiga, Orang yang memiliki sifat Itsâr. Itsâr dalam makna sesungguhnya telah Allah sebutkan dalam al Quran: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al Hasyr : 9)

Sifat ini sudah jadi barang langka, bahkan orang yang masih mengamalkan sikap ini dicap sebagai orang yang tidak rasional. Sungguh Islam ini akan kembali bangkit jika setiap jiwa kita mampu memaknai dan mengaktualisasikan kembali nilai ini. Memang tidak semudah mengucapkannya. Untuk mengamalkannya diperlukan persiapan ruhy yang optimal. Mendapatkan kondisi ruhy seperti ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi ia butuh proses dan waktu.

Bagaiamana prosesnya? Perkuat hubungan dengan Allah dan interaksi sosial sesama makhluk, dan sadari bahwa kehidupan didunia adalah Dârul ‘amal, sedangkan kebahagiaan sempurna hanya ada di akhirat. Jika hal ini mampu kita lakukan, maka kita akan semakin bisa bermu’amalah dengan saudara kita dengan ‘ahsanul mu’amalah’. Hati kita akan selalu mudah peka dan lembut sebab kita sadar hanya Allah tujuan kita.

Sahabat….keindahan mentari pagi dengan cahayanya yang menembus disela-sela pepohonan dan dedaunan adalah kekuatan yang memberikan kehidupan bagi makhluk. Begitu juga dengan ukhuwah, ia ibarat sinar mentari yang membangkitkan kehidupan, mata air yang memberikan kesejukan dan pelepas dahaga, rembulan di malam hari yang menerangi perjalanan seorang musafir. Semua kita adalah musafir dalam hidup ini. Mahathah akhir kita adalah ridho Allah, dan saat ini kita masih dalam perjalanan menuju-Nya.

Sahabat…sungguh ingin kuucapkan betapa aku mencintaimu karena Allah. Kita tidak sedang bermain dengan kata-kata. Kita tidak sedang berbasa basi. Bukankah Allah telah menjanjikan buat kita diakhirat kelak melalui lisan Rasul-Nya? Bahwa diantara tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari akhirat adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah? bertemu karena Allah dan berpisah karena-Nya juga? Masihkah kita ragu dengan janji-Nya?

Sahabat…bukalah pintu hatimu! Aku ingin berbagi cerita denganmu. Betapa disetiap sudut sajadah doaku teruntai sebait doa untukmu…semoga Allah selalu menyatukan hati dan jiwa kita untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya serta seluruh orang mukmin. Disetiap asa dan harapku semoga kita bisa mengemban amanah risalah dan dakwah ini dalam satu shaf yang rapi.

Sahabat…hari esok akan menjelang, dan perjalanan kita masih terlalu panjang. Genggamlah erat tanganku ini dan mari kita berjanji, bahwa kita akan meneruskan perjuangan ini…apapun yang terjadi! Tersenyumlah…karena Allah akan meridhoi kita sahabat…! 

@Fe_Fine

TINTA BICARA


Hidup ini adalah suatu perjuangan dan di dalam setiap perjuangan kita akan tempuhi rintangan. Dan halangan itulah yang dinamakan dugaan. Andai kecundang, airmata bukanlah penyelesaiannya. Bangunlah kerana kegagalan pertama tidak beerti kegagalan berikutnya. Kegagalan dalam kehidupan merupakan satu kenangan yang amat pahit. Namun disebalik kepahitan itu pasti ada kemanisan yang bakal menanti. Oleh itu. berusahalah untuk mencari kemanisan dicelah kepahitan. Kejayaan itu mudah diperolehi seandainya kita berusaha. Cinta juga mudah diperolehi seandainya kita memerlukannya. Tetapi ingatlah cita-cita mudah diperolehi seandainya kita tidak putus asa untuk terus berusaha. Ingatlah tiada kejayaan tanpa penderitaan dan keimanan pendinding dari kemungkaran.

Selasa, 30 Desember 2014

Kerinduan Untuk Ibu

Ibu….
malam ini jiwaku tak berbintang karena kerinduan ku padamu …
aku seakan mentari yg tertutup awan gelap,,,
aku rindu kasih mu ibu….
jarak q dan dirimu membuat q tak berdaya ,,
q rindu perlindunganmu saat aku ketakutan ,,,
aku terharu biru ibu…
maafkan aku ibu,,,
aku pergi dengan kesalahan terbesar,,
q tak sempat membuatmu tersenyum padaku ibu..
q tak sempat membahagiakanmu,,
tapi,, aku berjanji untukmu ibu,,,
aku akan kembali dengan segenap bintang untukmu ibu….
cinta dan sayangku hanya untuk mu ibu….
selamanya….

Puisi Rindu Untuk Ibu



Besar pengorbanan yg Engkau berikan
tak satu’pun langkah’mu yg tak berarti di hidupku
kau keluarkan semua tenaga’mu untuk melahirkan’ku
meski semua yg terbaik telah ku berikan pada’mu
itu semua tak akan bisa menggantikan semua


Secoret kata ini, kutuliskan
Betapa besar pengorbanan’mu untuk anak’mu
Kini aku bisa memahami,
Betapa berartinya diri’mu di dunia’ku

tak mampu aku membalas semua pengorbanan’mu
hanya menghormati dan memberi yg terbaik untuk’mu
meski tak besar,aku terus berusaha untuk bisa membuat diri’mu tersenyum melihat anak’mu

IBU terimakasih, kasih dan pengorbanan’mu akan terus aku ingat.

Sedikit Cerita Tentang Ibu

Ketika kita lapar Tangan Ibu yang menyuapi. Ketika kita haus, tangan ibu yang memberi kita minuman, ketika kita menangis, tangan ibu yang mengusap air mata. Ketika kita gembira, tangan ibu yang menadah syukur, Memeluk erat dengan deraian air mata bahagia.

Ketika kita mandi, tangan ibu yang meratakan air keseluruh badan, membersihkan segala kotoran. ketika kita dilanda masalah,  tangan ibu yang membelai kita sambil berkata "sabar nak... sabar ya sayang.." 



Tapi.......


Tetapi ketika ibu sudah mulai Tua dansudah mulai kelaparan.. tiada tangan anak yang menyuapi..
Dengan tangan gemetar, ibu menyuapkan makanan sendiri kedalam mulutnya dengan linangan air mata..

Dan...

Ketika Ibu SAKIT ..
Dimana Tangan anak Yang ibu harapkan  dapat merawat ibu yang sedang sakit..????

Ketika Nyawa Ibu sudah hampir terpisah dengan jasad .. Dimana Tangan anak yang ibu harapkan dapat  memegangi erat tubuh ibu...

Tangan ibu, Tangan ajaib..
Sentuhan Ibu, Sentuhan Kasih...
Dapat membawa kesurga Firdaus...